Jumat, 23 September 2011
Mengembangkan Bentuk Evaluasi
Evaluasi dapat dilihat dari dua konteks yang berbeda. Pertama, evaluasi dalam pengertian bentuk evaluasi terhadap penyelengaaraan pendidikan yang dapat berwujud misalnya dalam Laporan Evaluasi Pendidikan. Yang kedua adalah evaluasi dalam pengertian Evaluasi Hasil Belajar, yang dipahami sebagai hasil ujian atau tes yang diberlakukan kepada peserta didik. Sebelumnya juga sudah disampaikan bahwa nuansa atau orientasi formalitas dapat ditemukan pada kedua konteks tersebut. Pertanyaannya sekarang, bagaimana caranya upaya meningkatkan penyelenggaraan sistem pengajaran nasional tersebut diwujudkan dalam kedua bentuk evaluasi tersebut? Beberapa langkah berikut mungkin dapat dilakukan.
a. Untuk evaluasi yang menyangkut penyelenggaraan pendidikan perlu dirumuskan format evaluasi yang dapat membandingkan efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan dari periode ke periode, dari angkatan ke angkatan lulusan, atau dari tahun ke tahun. Artinya efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan pendidikan pada tahun yang dievaluasi perlu dibandingkan dengan beberapa pendidikan yang sebelumnya. Dengan demikian akan terlihat trend yang jelas dan valid tentang peningkatan atau penurunan kualitas penyelenggaraan pendidikan dalam satu jangka waktu tertentu. Misalnya, apakah pendidikan tahun ini lebih efisien atau lebih boros dari tahun sebelumnya?; atau dari segi efektifitas apakah pennyelengaraannya lebih lancar atau lebih tersendat-sendat dari tahun sebelumnya?; atau apakah suatu permasalahan yang dihadapi pada suatu periode pendidikan merupakan persoalan unik, khas dan tidak ditemukan ppada periode sebelumnya, atau merupakan permasalahan lama yang tidak kunjung teratasi? Dengan demikian, hasil evaluasi tersebut akan lebih komprehensif dan dapat digunakan untuk dijadikan dasar yang kuat untuk langka-langkah perbaikan kualitas penyelenggaraan pendidikan selanjutnya.
b. Sedangkan untuk evaluasi yang menyangkut hasil belajar, seperti diuraikan sebelumnya adalah adanya benturan antara sulitnya mengukur kualitas hasil didik dengan standar kuantitas, dengan kenyataan adanya kebutuhan akan nilai-nilai kuantitas yang dapat dipakai untuk kepentingan peserta didik setelah lulus. Namun demikian perlu ada pemikiran mengenai jenis atau tingkat pendidikan mana yang masih membutuhkan adanya peringkat kelulusan dan mana yang tidak; atau mungkin perlu dipikirkan sistem evaluasi yang lain selain nilai kuantitas, baik untuk mengganti atau mengkombinasikan nilai kuantitas tersebut agar lebih tepat menunjukkan kualitas hasil didik. Satu hal yang perlu diwaspadai adalah bagaimana menghindarkan dimanfaatkannya sistem evaluasi dengan nilai kuantitas tersebut oleh peserta didik sekedar untuk mendapatkan nilai tinggi, artinya untuk dapat peringkat kelulusan yang tinggi, tapi bukan dengan proses belajar yang benar, sehingga peringkat kelulusan tidak dappat menggambarkan kualitas hasil didik yang sebenarnya. Selain itu, apa yang disampaikan pada pembahasan kurikulum diatas, yakni mengenai komposisi tiga aspek penilaian, perlu pula dipertimbangkan dengan baik. Kita tentu saja tidak menginginkan misalnya, seorang mendapat peringkat kelulusan tinggi dalam sebuah program kursus programer komputer bukan karena dia memang lebih unggul dalam bidang tersebut, tapi karena nilai kepribadiannya yang baik, tapi kemampuan programernya lebih rendah dari yang lain. Disini bentuk atau sistem evaluasi hasil belajar mempunyai peran yang sangat penting.
Menyiapkan tenaga Pendidik Yang Berkualitas.
Mencermati pentingnya peranan tenaga pendidik dalam proses belajar mengajar di sekolah maupun lembaga pendidikan, maka ada beberapa langkah yang dapat diambil.
a. Pertama, konsistensi dalam rekrutmen. Perlu adanya konsistensi perkerutan tenaga pendidikan sesuai aturan yang sudah ada, yaitu bahwa perekrutan atau pengerahan tenaga pendidik memperhatikan aspek kompetensi yaitu karakteristik dasar seseorang (individu) yang berkaitan dengan kinerja yang efektif pada suatu jabatan atau situasi tertentu, keterampilan atau skill, kemampuan, sikap, perilaku yang dapat ditauladani, motivasi, dan komitmen yang didukung oleh aspek psikologi. Dengan tetap konsisten pada ketentuan ini, akan dapat dihindari adanya motivasi dari tenaga pendidikan untuk sekedar memenuhi kewajiban formal yang disebabkan karena mereka memang secara resmi menjabat sebagai tenaga pendidik. Yang diharapkan tentu saja adalah bahwa mereka punya kompetensi sebagai tenaga pendidik dan menyenangi jabatan pendidik tersebut, bukan sekedar tuntutan formal.
b. Kedua, mengembangkan kemampuan tenaga pendidik. Tenaga pendidik perlu diberi kesempatan dan dimotivasi untuk terus mengembangkan kemampuan mengajar atau penguasaan yang luas dan dalam akan materi yang menjadi tanggung-jawabnya. Sekolah maupun lembaga pendidikan punya kewajiban memfasilitasi, bahkan mengontrol upaya ini. Upaya fasilitasi yang dapat dilakukan oleh lembaga pendidikan ini tentu saja dengan secara berkala menyediakan bentuk pelatihan-pelatihan yang dibutuhkan oleh Guru maupun Dosen, ataupun mengirim mereka secara bergilir ke lembaga-lembaga atau program-program pelatihan di luar Sekolah itu sendiri.
c. Tiga, evaluasi kompotensi tenaga pendidik. Seiring dengan upaya itu, Sekolah dapat melakukan evaluasi terhadap perkembangan setiap Guru/ Dosen untuk meningkatkan kemampuan mengajar. Evaluasi ini ditujukan untuk menyesuaikan tanggungjawab materi pelajaran dengan kemampuan yang tenaga pendidik. Dalam hal ini peran aktif Koordinator Guru/ Dosen sangat dibutuhkan. Salah satu hambatan yang mungkin muncul dalam hal ini adalah keterbatasan kewenangan penempatan jabatan yang dimiliki oleh sekolah, dimana kewenangan tersebut berada pada Yayasan maupun pihak atasan lainnya. Namun demikian, berdasarkan evaluasi yang tepat terhadap tiap Gumil atau Dosen tadi paling tidak ada dua hal yang dapat dilakukan Sekolah. Pertama, menyarankan pergeseran jabatan bagi tenaga pendidik yang sudah tidak memenuhi syarat kompetensi. Kedua, kalau langkah ini tidak berhasil, Sekolah dapat melakukan pergeseran jabatan operasional tanpa harus terlalu terikat dengan jabatan-jabatan definitif yang ada. Langkah-langkah seperti ini sudah umum dilakukan, namun demikian sekolah perlu lebih intensif melakukannya. Tentu saja hal ini menuntut komitmen kependidikan yang tinggi dari pihak-pihak yang berwenang di sekolah maupun Lembaga Pendidikan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar